Ketidakadilan Negara Terhadap Rakyat
( Studi Kasus Lumpur Lapindo)[1]
Muhamad Iqbal Saputra
4825077418
Sosiologi Pembangunan
Tulisan ini
mengkaji ketidakadilan Negara terhadap Rakyat, dalam kasus Lumpur Lapindo, Jawa
Timur. Indonesia adalah Negara yang besar karena telah mendapat legitimasi oleh seluruh dunia menjadi Negara merdeka.
Namun dalam kenyataannya bangsa ini belum sungguh –sungguh bebas merdeka. Kita
bisa lihat saja dari kasus Lumpur lapindo yang terjadi Jawa Timur, seakan
Negara menganak tirikan daerah tersebut. Karena sejak 29 mei 2006 hingga kini
petaka Lumpur lapindo seakan masih menjadi kelabu bagi masyarakat Jawa Timur
dan sekitarnya. Pemerintah hanya sibuk menyelesaikan kasus – kasus yang
bertemakan korupsi, demokrasi, namun melupakan kebebasan rakyat seutuhnya. Mereka
lupa bahwa Negara wajib menciptakan kesejahterakan, keadilan bagi rakyat sesuai
dengah amanat Pancasila. Namun hingga akhir 2009 sudah sekitar Rp 4 triliun
uang negara (APBN) tersedot untuk menyelesaikan masalah Lumpur Lapindo. Kasus
lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum
Negara ini lumpuh tak berdaya. Semburan lumpur mengakibatkan beberapa dampak
baik dari segi sosial, budaya, politik, ekonomi, dan hukum. Belum lagi
kehancuran infrastruktur seperti rel kereta api, jalan Tol Porong-Gempol yang
merupakan nadi utama transportasi ditutup secara permanen, dan jalan-jalan umum
lainnya.
Dalam
beberapa kasus Walhi pernah mencoba mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo
Brantas Inc, korporasi terkait kejadian ini. Namun Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo
terjadi karena bencana alam. Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan
pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti
dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal
1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne
Inlandsche Reglement (HIR). Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal ditangan
Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo
masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur
itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”. Dalam perkara ini, Lapindo dan
pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1)
Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran itu dengan
permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima meter). Ketentuan
Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002 tentang Operasi Pengeboran
Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur pengeboran harus berjarak
sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, perumahan, dan
tempat-tempat lainnya. Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003). Peruntukan
lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non
kawasan,bukan untuk pertambangan.
Penanganan semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, hingga
tertanggal 30 Mei 2010 sudah mencapai Rp4,3 triliun[3].
Namun pemerintah masih akan menggelontorkan dana untuk penanganan lumpur hingga
2014 nanti sebesar Rp11,5 triliun. Membengkaknya dana rakyat untuk penanganan
lumpur Lapindo itu tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM). Dalam dokumen tersebut, pemerinah akan menggelontorkan lagi dana untuk
penanganan lumpur Lapindo sebesar Rp7,2 triliun, untuk tahun 2011 hingga 2014
mendatang. Anggaran tersebut akan dialokasikan
ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menangani semburan lumpur,
penanganan sosial dan infrastruktur. Pembangunan relokasi infrastruktur
meliputi pembangunan jalan arteri porong, jalan tol dan jalur rel kereta api.
Sehingga dana yang digunakan utuk penanganan lumpur Lapindo mencapai Rp11,5
triliun, karena pada tahun 2007 hingga 2010 pemerintah sudah menggelontorkan
anggaran Rp4,3 triliun.
Semburan lumpur ini telah
menenggelamkan 12 desa, 24 pabrik, dan memaksa lebih dari 30 ribu warga terusir
dari rumah mereka. Namun, didalam pengelolaan penanganan lumpur ini dinilai
kurang transparan. Jumlah uang dinilai tidak sebanding dengan upaya penanganan
yang dilakukan BPLS. Volume lumpur yang saat ini tertampung di kolam
penampungan seluas 620 hektare sudah mencapai 12 juta meter kubik. Upaya
pembelian kapal keruk dan mesin pompa untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong
sulit dilakukan. Demikian pula dengan pembangunan relokasi infrastruktur
ternyata juga tersendat karena terkendala pembebasan lahan.
Pembayaran ganti rugi kepada para
korban semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di tiga desa, yakni Pejarakan,
Kedungcangkrin dan Besuki, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sampai saat ini
masih tersendat. Sesuai Perpres Nomor 48 Tahun 2008, tiga desa tersebut
ditetapkan masuk peta terdampak II dan pembayaran atas aset warga yang terkena
lumpur menjadi tanggungan pemerintah. Model pembayaran yang ditetapkan kepada
korban di tiga desa tersebut menggunakan skema pembayaran yaitu uang muka 20
persen dan 80 persen sisanya dibayar secara mencicil. Sama persis dengan skema
yang dipakai PT Minarak Lapindo Jaya pada 2008. Pemerintah telah mengucurkan dana sekitar Rp 102 miliar
untuk membayar uang muka 20 persen bagi warga di tiga desa tersebut. Kemudian
pada 2009 pemerintah mengucurkan dana sekitar Rp 160 miliar lagi untuk membayar
angsuran sisanya. Sejak 2007 pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk
penanggulangan lumpur Lapindo sekitar Rp 1,2 triliun per tahun. Namun
penyerapan anggaran itu masih terbilang kecil, cuma sekitar 50-60 persen. Hal
itu karena sebagian besar anggaran untuk keperluan relokasi infrastruktur. Dan,
sampai sekarang relokasi infrastruktur masih tersendat-sendat pelaksanaannya.
Menurut teori Marx Weber hukum itu
dipengaruhi salah satunya oleh politik. Kita sama –sama tahu bahwa perusahaan
yang mengakibatkan Lumpur ini pemiliknya adalah Aburizal Bakrie (Ical) yang
memliki tugas baru yaitu Ketua Harian Sekber (Sekretariat Bersama ). Memang
Pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi ini menuai beragam kritik. Karena
kewibawaan SBY sudah diambil setengahnya oleh Ketua Harian Sekber Koalisi.
Sekber memiliki peluang besar untuk mengendalikan pemerintahan. Hal tersebut
karena posisi kuat yang dimiliki oleh Ketua Golkar dalam struktur Sekber Partai
Koalisi. Seakan – akan Aburizal Bakrie (Ical) mampu menunggangi pemerintah ini
dengan berbagai cara apapun.
Negara ini seakan tidak mampu
mengatasi masalah Lumpur Lapindo milik Aburizal Bakrie (Ical), pemerintah hanya
sekedar menggertak saja namun dalam kenyataannya masih ada masyarakat yang
terkena Lumpur Lapindo ini yang belum menerima ganti rugi secara adil. Bila
ditelaah dengan konsep hukum maka kasus ini sesuai dengan Mahzab Formalistis (
Jhon Austis)[4] yang
mengatakan bahwa hukum dibuat untuk kepentingan penguasa dan atas pemeritah
sehingga rasa tidak diperhatikan. Dalam kasus Lumpur Lapindo ini kita bisa
menggunakan teori konflik. Menurut Dahrendorf konflik adalah kelompok semu
yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya
konflik dalam masyarakat. Tidak hanya itu, Dahrendorf mencoba mencontohkan.
Dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari dua kelompok, yaitu pemegang otoritas
(superordinan) dan kelompok yang dikuasai(subordinan).
Dalam kasus Lumpur lapindo, superordinan adalah perusahaan Lapindo, sedangkan subordinan adalah masyarakat sidoarjo dan sekitarnya. Dengan kepentingan dan kekuasaanya kelompok superordinan yang dikelompoki oleh para pengusaha ingin mencoba menguasai daerah tersebut namun masyarakat setempat yang tidak memiliki kekuatan penuh mencoba berontak dan itu semua akan menimbulkan sebuah konflik. Menurut dahrendorf pula, kepentingan selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam hal ini perusaahaan Lapindo memegang peran demi keuntungan perusahaan sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Ada asumsi yang mengatakan bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Dalam kasus Lumpur lapindo, superordinan adalah perusahaan Lapindo, sedangkan subordinan adalah masyarakat sidoarjo dan sekitarnya. Dengan kepentingan dan kekuasaanya kelompok superordinan yang dikelompoki oleh para pengusaha ingin mencoba menguasai daerah tersebut namun masyarakat setempat yang tidak memiliki kekuatan penuh mencoba berontak dan itu semua akan menimbulkan sebuah konflik. Menurut dahrendorf pula, kepentingan selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam hal ini perusaahaan Lapindo memegang peran demi keuntungan perusahaan sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan. Ada asumsi yang mengatakan bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Di dalam pengamatan penulis, kasus
Lumpur Lapindo ini ditekankan oleh perusahaan Lapindo yaitu sistem jual beli,
seharusnya adalah ganti rugi. Jadi bila hasil kesepatan jual beli itu lebih
kepada negosiasi yang sifatnya memaksa. Para korban pun hanya bisa menerima
nasib yang tidak wajar oleh para penguasa kepentingan. Negara pun tak bisa
berbuat banyak karena dari awal Negara tidak bersikap tegas kepada perusahaan
Aburizal Bakrie (Ical). Padahal Presiden kita itu dipilih langsung oleh rakyat
dengan kemenangan 60 %[5]
namun tidak bisa tegas.
Memang konflik yang terjadi dalam
kasus Lumpur Lapindo ini adalah konflik yang realistik yaitu terlihat atau
nyata. Di mana benar –benar kasus ini adalah kasus besar yang mungkin bisa
melebihi kasus Bank Centuri yang beberapa bulan yang lalu sempat menghebohkan
masyarakat Indonesia. Karena kasus Lumpur Lapindo ini menyangkut hajat orang
banyak, dengan bencana seperti ini segala aktivitas terasa tersendat.
Seharusnya hukum di Indonesia itu harus ditegakkan, tidak ada tebang pilih
dalam memberlakukan hukum. Setiap yang bersalah haruslah di hukum sesuai aturan
yang berlaku. Jangan rakyat ini di bohongi oleh kebijakan atau aturan main para
pengusasa yang selalu haus akan kekuasaan.
Di sela memperingati empat tahunnya
bencana Lumpur Lapindo. Ratusan korban lumpur Lapindo menggelar aksi teatrikal
dengan membawa patung bergambar Aburizal Bakrie sebagai bentuk refleksi
peringatan empat tahun luapan lumpur Lapindo. Dalam aksi tersebut warga juga
meminta kepada pemerintah dan Lapindo bertanggung jawab atas terjadinya perstiwa
luapan lumpur panas sejak 29 Mei 2006. Mereka meminta supaya percepatan ganti
rugi terhadap korban lumpur ini segara dilunasi dan warga bisa segera menempati
rumah baru.
Ada fenomena menarik, yaitu
munculnya Yuniwati Teryana—Wakil Presiden Direktur Lapindo Brantas Inc,
perusahaan penanggung jawab kasus lumpur Lapindo—sebagai calon bupati Sidoarjo.
Wiwid Suwandi, petinggi perusahaan yang sama, juga muncul sebagai calon bupati.
Apa makna kemunculan mereka sebagai calon bupati Sidoarjo? Apakah warga
Sidoarjo telah melupakan kasus Lapindo?. Memang kekuasaan politik di Negeri ini
telah melebur menjadi satu, yaitu monarki. Seakan para pengusaha mampu mengusai
koalisi pemerintah dengan asas kebersamaan.
Penulis menyimpulkan bahwa
ketidakadilan Negara terhadap Rakyat sangat terasa pada kasus Lumpur Lapindo.
Karena ketidakseriusan Negara dalam bersikap tegas terhadap perusahaan yang
dikomandai oleh Ketua Harian Sekber (Sekretariat Bersama) dan sekaligus Ketua
Umum Partai Golkar. Tidak hanya itu, kondisi ini mengakibatkan adanya konflik
antara Perusahaan Lapindo dengan masyarakat yang terkena musibah ini. Di sini
terlihat jelas bahwa perusahaan Lapindo memiliki power dalam mensituasikan
hukum. Tidak ada satu pun dalam kasus ini yang dijadikan tersangka. Padahal
jelas- jelas perusahaan Lapindolah yang bertanggung-jawab penuh atas bencana
ini, selain Pemerintah.
[1] Lumpur
Lapindo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran PT
Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur , sejak tanggal 29 Mei 2006
[2]
Mahasiswa jurusan Sosilogi dengan program studi Sosiologi Pembangunan Non
Reguler 07, untuk menyelesaikan tugas Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah
Sosiologi Hukum.
[3] Sumber:
www.metrotvnews , 30 Mei 2010 15.18 Wib
[4] Dalam
kajian ini, hukum sangat ditentukan oleh para penguasa kepentingan tanpa
menghiraukan aspek dari masyarakat yang merasa tertindas.
[5] Menurut
sumber dari KPU 73.874.562 Suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar